GEMINO

          Terburu-buru menaiki tangga menuju kamar dan mengunci pintunya, Caleb melemparkan ransel ke sofa, merogoh kantung kecil tersembunyi kemudian mengeluarkan seuntai kalung. Sama sekali tidak bercahaya maupun bernilai secara ekonomis, namun daya tariknya bahkan sanggup mengikat dirinya ke dalam obsesi ingin memiliki benda tersebut jauh lebih kuat dari biasanya. Gemino mungkin hanya terlihat istimewa di mata Caleb dan tentunya Skylar, pemilik sebelumnya.


         Berdebar-debar seolah sedang menggenggam pusaka di tangan, Caleb mengamati dua potong tulang sepanjang kurang lebih lima senti yang dijalin oleh benang wol merah. Selebihnya adalah rantai timah yang disisipkan mozaik pada setiap tujuh mata rantai. Demi merebut Gemino dari Skylar, ia bahkan rela melukai gadis itu. Tidak parah memang, tetapi cara Skylar menatapnya cukup mampu mendatangkan sensasi aneh pada sekujur tubuh Caleb.

        Monitor komputernya berkedip. Caleb meletakkan Gemino ke atas tempat tidur, sebelum kemudian berpikir lebih baik mengantonginya. Ia memeriksa kotak masuk surel miliknya.

      Dasar pembohong. Kau tidak pernah berburu anachonda. Itu hanya photoshop. Alexis.

        Caleb menyeringai. Dasar bodoh, pikirnya sambil menghapus pesan itu, aku tidak pernah memaksamu untuk percaya. Lalu ada cukup banyak pesan lainnya kurang lebih berisi kemarahan yang sama. Ia tak tahan untuk tertawa, mulai menikmatinya sebagai permainan yang menyenangkan.

        Berbohong itu menyenangkan, bukan? Kau akan terlihat semakin hebat dan sebaliknya mereka semakin terlihat bodoh. Bagaimana mungkin seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun terdampar di hutan Amazon dan tiba-tiba menemukan cara untuk membunuh anachonda?

         Mendadak komputernya mati bersama dengan angin kencang yang tiba-tiba menerobos masuk. Ah, sial. Padahal ia sudah bermaksud mengirimkan foto wajah badut pada Alexis. Membayangkan bagaimana anak itu akan ketakutan dan dihantui mimpi buruk setiap malamnya. Ya, Caleb memang seorang pembohong, tetapi menuduhnya secara terang-terangan akan menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih serius. Para pengirim surel itu, mereka akan belajar sesuatu.

         Ia tidak ingat pernah mendengar peringatan mengenai badai. Bergerak malas menuju jendela untuk menutup kusennya, namun gerakannya mendadak terhenti. Apakah hanya perasaannya atau ia memang baru saja mendengar jeritan memilukan dan disusul oleh suara tawa lirih yang meningkat semakin tajam beberapa detik setelahnya?

        “Pasti hanya angin,” Caleb menggumam sambil berjalan menuju pintu kamarnya. Ia merasa aneh saat menyadari suara televisi dari ruang keluarga sementara saat ia melihat sepintas melalui jendela seluruh lampu jalanan padam.

        Ia bermaksud keluar untuk memastikan saat terdengar olehnya suara ketukan pada pintu. Ia membukanya dan tak menemukan siapapun. Aneh, ia yakin mendengarnya dengan sangat jelas. Ketika tangannya sudah akan bergerak menutup kembali pintu itu, perhatiannya segera tertuju pada sebuah kotak berukuran sedang.

        Siapa yang meletakkannya? Tidak mungkin Aubrey. Kakak perempuannya itu lebih memilih berseru memanggil namanya daripada mengetuk pintu kamar Caleb.

       Caleb berjongkok meraih kotak itu sambil mencoba mengingat-ingat apakah saat ini awal April. Ia tak melihat benda ini saat masuk tadi, tetapi juga cukup yakin siapapun yang meninggalkannya mustahil tak menimbulkan suara apapun. Lantai kayu itu akan berderit jika diinjak.

       “Aubrey, apa kau yang meletakkan ini?” Caleb berlari menuruni tangga di mana hidungnya membaui aroma pizza. Aubrey sedang membelakanginya dengan earphone di telinga mengeluarkan sesuatu dari dalam microwave.

       Tidak ada jawaban. Tentu saja! Gadis itu tak mungkin mendengar sekalipun Caleb berteriak tepat di telinganya. Dengan kesal ia menggerakkan tangannya mencoba menjangkau kabel earphone dari telinga Aubrey. Tetapi sebelum itu berhasil dilakukannya, tampaknya Aubrey telah menyadari kehadirannya dan berbalik cepat.

       Astaga!

       Caleb merasa jantungnya seperti baru saja ditarik keluar. Ia bergerak mundur ketakutan sambil mengerjapkan mata, mencoba mempercayai pandangannya. Wajah itu …


       Semuanya milik Aubrey kecuali tanda silang di tempat kedua mata seharusnya berada. Sebelum Caleb berhasil melepaskan diri dari rasa terguncangnya, sudut matanya mengenali gundukan putih kecokelatan menggeliat di atas sebuah nampan. Jumlahnya yang melebihi kapasitas nampan itu menyebabkan beberapa ekor dari mereka berjatuhan ke lantai dan sebagian lagi jatuh di atas sepatu Caleb.

        Berlari ketakutan menaiki anak tangga menuju kamar, Caleb merasa cukup yakin Aubrey sedang mengejarnya. Ia bahkan tak berani menengok ke belakang sekedar untuk memastikan semua itu nyata. Membanting pintu dan menguncinya dengan jari-jari tangan gemetar, melompat ke atas tempat tidur lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya yang menggigil. Angin tampaknya masih mencoba menggempur jendela kamar Caleb yang terkunci.

        Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Pertama-tama komputernya tiba-tiba mati, tidak hanya benda itu, tetapi bahkan lampu dan penghangat ruangannya. Suara jeritan dan tawa, kotak misterius yang mendadak muncul di depan pintu kamarnya setelah terdengar ketukan cukup keras dari luar, lalu keanehan-keanehan lainnya di bawah sana. Apa yang terjadi dengan mata Aubrey? Siapa yang melakukan itu kepada saudarinya? Tidak, Caleb menggeleng kuat, siapapun yang di bawah sana tidak mungkin Aubrey.

        Tetapi siapa?

        Caleb menyadari sesuatu sedang berbaring hanya berjarak beberapa senti di samping kiri tubuhnya. Dengan was-was ia menyingkap selimut.

        Ia menahan napas. Sebuah boneka sebesar anak usia lima tahun terbaring di sana. Jika Caleb banyak melihat boneka beruang, panda maupun binatang-binatang lucu lainnya yang berteman baik dengan sebagian besar anak perempuan, kali ini boneka itu terlihat berbeda. Itu adalah boneka kain berambut panjang dengan poni yang hampir menutupi matanya. Bibir yang begitu kecil dijahitkan secara cermat di bawah hidung mungil. Walaupun agak menyeramkan, tetapi Caleb merasa ia hanya sedang berhadapan dengan seorang anak perempuan yang kesepian dan mengundang siapapun untuk bermain bersamanya.

        "Bagaimana bisa boneka itu ada di kamarku?”

         Caleb menggulirkan pandangannya pada kotak di bawah tempat tidur di mana tadi ia menjatuhkannya begitu saja. Dengan perasaan berdebar-debar ia menarik pita merah yang membelit kotak itu dan mengangkat penutupnya. Saat ia pikir akan melihat sesuatu yang luar biasa dari dalamnya, ternyata Caleb hanya menemukan sekeping compact disc.

          Begitu benda itu telah berpindah dari kotak ke tangannya, mendadak layar komputernya menyala. Pesannya jelas. Makhluk apapun yang mengendalikan permainan ini ingin agar Caleb menonton sesuatu.

         Pertama-tama, tampaklah sebuah ruangan sempit di mana ada tiga orang anak perempuan duduk di atas sebuah kursi kayu. Seorang wanita dengan rambut menutupi hampir seluruh wajahnya membungkuk seperti sedang merajut. Tetapi jika dicermati lebih baik, wanita itu tidak sedikit pun menggerakkan jemarinya.

        Apakah ia mati? Caleb merasakan detak jantungnya semakin cepat seolah-olah sedang berada di ruangan itu bersama mereka yang bertingkah sangat ganjil.

        Salah seorang dari anak perempuan itu berdiri, berjalan perlahan menghampiri kedua anak lainnya, tampak mengatakan sesuatu sebelum kemudian menghilang di balik pintu dan kembali dengan memeluk sebuah boneka. Boneka yang menyerupai anak perempuan persis seperti apa yang kini sedang duduk mengamati Caleb dari atas tempat tidur. Mengamati dalam diam tanpa disadari oleh anak laki-laki yang perhatiannya sedang terpusat sepenuhnya pada film hitam putih di layar komputer.

        Lalu anak perempuan yang wajahnya tak terlihat jelas karena rambut panjang menggerai tak teratur hingga nyaris menyentuh tanah mendekatkan boneka itu tepat ke wajah salah satu anak.
Apa yang ia lakukan? Mereka semua memang tampak aneh tetapi gadis kecil ini yang terburuk.

        Caleb memperbaiki posisi duduknya, memandang gelisah tayangan yang terhenti di sana. Ia menunggu selama beberapa detik dan tak ada yang terjadi. Dengan wajah berkeringat dan tangan gemetar ia mencoba mengeluarkan compact disc itu.

         Saat sedang melakukannya, suara jeritan tajam dan tawa lirih kembali terdengar. Kali ini sedikit lebih jelas dari ketika pertama kali ia mendengarnya. Caleb yakin jika ia berhasil merekam suara itu dan menyaringnya, maka akan ditemukan tawa seorang anak perempuan di antara jeritan itu.

        Apakah berlebihan jika ia merasa jauh lebih takut dari sebelumnya?

         Siapakah mereka? Caleb dapat merasakan atmosfer kegelapan yang menyelimuti ruangan itu. Mengapa gambarnya tiba-tiba terhenti? Lalu siapakah yang merekam semua ini dan mengapa seseorang ingin ia menontonnya? Film itu bahkan seolah-olah telah berusia seabad.

         Kedua matanya membesar tak percaya. Ia menajamkan pandangan sambil melakukan zoom pada sesuatu yang segera menarik perhatiannya.

        Gemino! Sedikit terlindung dari balik boneka besar yang terangkat, namun Caleb tak mungkin keliru mengenalinya.
Lalu, dalam hitungan detik, bahkan lebih singkat dari itu, gambarnya beralih menampilkan wajah seorang anak perempuan berponi dengan bibir yang sangat kecil.

        Tersentak, Caleb membuat gerakan mundur yang tiba-tiba sehingga terjatuh dari kursi. Itu adalah boneka yang kini berada di kamarnya. Wajah pucat seorang anak perempuan yang kesepian itu seolah-olah sedang menatapnya dari layar komputer. Saat Caleb mengerjapkan matanya, ia hanya menemukan layar hitam di sana.

        Menggigil ketakutan, ia memutar tubuh. Sepasang mata menatapnya dari atas tempat tidur, namun kali ini Caleb tahu ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Entah bagaimana tiba-tiba boneka itu duduk tegak menghadapnya. Sejauh yang berhasil diingatnya, tak sedikit pun ia menyentuh apalagi memindahkan benda tersebut.

        Gemino! Ia teringat kembali kalung yang tampaknya menjadi penyebab segala peristiwa aneh beberapa menit terakhir ini. Ia merogoh sakunya dan menggenggam benda itu, berada di antara keinginan untuk melenyapkan dan memilikinya sekaligus. Ini adalah obsesi yang sungguh aneh, hampir menyerupai ambisi para penguasa cincin dalam trilogi Lord of the Rings. Seolah-olah Gemino memiliki jiwa yang ingin mengikatkan diri sepenuhnya pada Caleb.

        Tidak! Aku harus menyingkirkan benda terkutuk ini!

        Jika Skylar memiliki kalung ini, itu artinya …

        Anak perempuan yang memeluk boneka itu …

         Caleb merasa ada banyak suara berbicara di benaknya sekaligus. Beberapa terdengar kejam dan bersumpah akan menyeretnya ke lembah neraka. Beringsut ke sudut kamar sambil menutup telinga dengan kedua tangan yang gemetar, kini dinding kamar mulai bergelombang menampakkan jiwa-jiwa yang terperangkap dari baliknya mencoba membebaskan diri. Jejak-jejak telapak tangan dan wajah yang berdesakan menyembul bersama suara jeritan tajam dan tawa lirih anak perempuan.

         Ia dapat melihat siluet menyerupai bola tenis memantul menghampirinya. Caleb memejamkan kedua mata, tak siap melihat hal mengerikan lainnya. Tetapi tampaknya permainan ini mengharuskan dirinya untuk selalu terjaga. Karena saat ia mencoba melakukannya, ia hanya dapat merasakan sesuatu yang sangat panas membakar korneanya. Memaksa dirinya untuk membuka kedua matanya dan berhadapan dengan …

        Ada tujuh buah bola tenis yang memantul di sekelilingnya. Jika dalam situasi normal, Caleb hanya akan bergerak mengumpulkan benda-benda itu dan memasukannya ke dalam keranjang. Tetapi bola-bola itu tampak hidup dan sedang menertawakannya. Suara-suara yang keluar dari sana menyerupai dengungan. Hanya perlu menajamkan pendengaran untuk mengenali bahwa bukanlah dengungan biasa yang akan kau dengar dari sekelompok lebah, melainkan apa yang biasa kau temui dalam sebuah ruang kelas berisi sedikitnya sepuluh anak perempuan.

        Aku pasti sudah gila!

        Bahkan suara-suara itu berhasil menembus telinganya yang tertutup. Dengan penuh ketakutan pandangannya bergulir ke atas tempat tidur di mana sebelumnya boneka itu duduk tegak di sana. Seperti yang ia takutkan, benda itu menghilang.

        Matanya menelusuri sekeliling ruangan tanpa berhasil menemukan keberadaan si boneka. Ia bahkan tak lagi dapat merasakan kedua kakinya menginjak permukaan lantai kamar yang dingin. Seluruh persendiannya kaku dan ia tak yakin jantungnya akan cukup kuat menerima kejutan lainnya.

        Terdengar suara ketukan di pintu.

        Satu kali.

       Caleb  bergeming. Siapapun yang berada di balik pintu itu tidak mungkin lebih menyeramkan dari boneka anak perempuan yang sedang bersembunyi.

        Dua kali.

        Ia merasakan sakit yang hebat pada perutnya. Pandangannya berkabut bersama dengan kesadaran yang semakin menipis. Sayup-sayup ia mendengar suara wanita dari balik pintu tersebut.

       “Caleb, buka pintunya!”

       Mom? Bukankah wanita itu seharusnya sedang berada di Denver bersama Uncle MacKenzie?


       Hening sejenak. Caleb tak tahu apakah harus merasa lega atau sebaliknya.

        Terdengar keributan singkat di luar sebelum kemudian suara Mom terdengar lagi, “Ada yang ingin menemuimu. Buka pintunya sekarang, Cal.”

        Entah bagaimana suara itu seolah menarik pergi seluruh mimpi buruk yang berlangsung di kamarnya beberapa detik lalu. Di antara rasa percaya dan tidak percaya, ia mengamati layar komputer yang menyala menampilkan halaman surel miliknya. Tidak ada angin yang berhembus kencang. Tidak ada boneka dan tempat tidur itu bahkan tampak seperti belum ditiduri dengan sehelai selimut yang terlipat rapi di atasnya.


        Caleb membuka pintu dan berhadapan dengan Mom yang menatapnya cemas. Tangan kurus wanita itu bergerak menyentuh dahinya lalu berkata cemas, “Demammu sangat tinggi. Tidak heran kau terus menerus mengigau.”

        Demam? Caleb merasa baik-baik saja. Baiklah, ia memang nyaris mati karena ketakutan, tetapi tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Mungkin hanya pikirannya yang sedikit terganggu, segera teringat bahwa hal sama pernah terjadi padanya kurang lebih tiga tahun lalu saat terserang influenza dan menemukan ada banyak monster bersembunyi di kolong tempat tidur.

       Wajah Skylar menyembul dari balik tubuh Mom. Caleb terkejut setengah mati, tidak dapat melepaskan tatapannya dari rambut panjang hitam yang digelung tinggi menyerupai mahkota di sana.

       Sambil mendongak melampaui punggung Caleb, Mom berkata lagi dengan memberikan tatapan tegas pada puteranya tersebut, “Sebaiknya kau beristirahat, Caleb Montgomery, karena kulihat selimut yang masih terlipat rapi dan komputer yang menyala.”

         Chloe tersenyum ramah pada Skylar, lalu beranjak pergi. Memandangi punggung Mom yang bergerak semakin menjauh dari mereka, Caleb baru ingat kalau Aubrey sedang menginap di rumah pacarnya Avrey sejak dua hari lalu. Mungkin Mom benar mengenai demam yang kini mengacaukan kemampuannya dalam memilah persepsi waktu. Tampaknya ia telah melewatkan banyak hal, termasuk berapa lama ia terbaring di tempat tidurnya.

        Dengan canggung Caleb membuka lebar pintu kamarnya dan membiarkan Skylar masuk. Saat ia memasukkan kedua tangan ke saku, jemarinya mengenali sesuatu dengan tekstur menyerupai timah dan tulang.

        Gemino! Kupikir sebelumnya aku hanya sedang bermimpi!
Ketegangan kembali menghampirinya, seolah-olah boneka itu akan kembali bersama suara-suara aneh yang membahana di sekeliling ruangan.

       “Caleb, kau mengambil sesuatu yang tak seharusnya kau miliki,” Skylar berkata tajam padanya.


        Caleb terkesiap. Bukan karena intonasi dalam suara tersebut, melainkan karena gadis itu mengatakannya dengan suara gemetar oleh rasa takut, bukan kemarahan. Sebelum ia sempat menjawabnya, Skylar melanjutkan, “Akan kubuat kau mengerti!”

        Skylar duduk di pinggiran tempat tidur Caleb sambil menggoyang-goyangkan kakinya dengan gelisah, “Gemino bukanlah kalung biasa. Aku baru mengetahuinya sekarang. Benda itu telah dikutuk!”

        “Tunggu dulu,” Caleb mencoba mengenyahkan rasa pening di kepalanya, “Kupikir benda itu milikmu.”

       "Jadi kau pikir jika benda itu milikku maka tidak masalah merampasnya dariku?” tukas Skylar dengan wajah memerah karena marah, “Sungguh saat itu bisa saja aku melaporkanmu, atau bahkan membunuhmu. Demi sebuah kalung kau bahkan nyaris membuatku terbunuh!”

       “Oh, ayolah!” Caleb mengeluarkan Gemino dan melemparkan benda itu ke pangkuan Skylar, “Tidaklah seburuk itu! Aku hanya mendorongmu dan itu pun tidak cukup keras.”

       “Apakah kau sudah bertemu dengan Pupa?”

        Caleb tak yakin pernah mendengar nama itu. Ia menggeleng sambil berkomentar, “Nama yang aneh. Kau yakin itu adalah sebuah nama?”

       Skylar menjawab cepat, “Pupa. Boneka perempuan berponi dengan bibir yang sangat kecil.”

       Darah Caleb berdesir. Rasa dingin yang aneh menyentuh tengkuknya. Semua itu tidak mungkin nyata. Jika kau sedang mengalami demam tinggi, imajinasimu terkadang bergerak liar tak terkendali. Skylar mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih nyaring dari sebelumnya.

       “Tidak,” dengan mudahnya Caleb berbohong.

        Kedua mata Skylar menatapnya tajam, seolah-olah tidak mempercayai kebohongannya. Menggigit bawah bibirnya kuat-kuat, ia berkata dingin, “Berhentilah berbohong, Cal. Kau tidak tahu seberapa buruk masalah yang sedang kau hadapi.”

        “Tidak,” Caleb tak sudi harus mengakui bagaimana beberapa menit lalu Pupa nyaris membuatnya mati ketakutan, “Lagipula sekalipun itu nyata…”

       "Tentu saja itu nyata,” potong Skylar, “Dulu ada seorang wanita yang kehilangan salah satu dari bayi kembar yang baru dilahirkannya. Ia menjejalkan tubuh tak bernyawa bayi itu ke dalam sebuah boneka setelah terlebih dahulu memotong jarinya. Menjahitnya dengan rapi, membersihkan dan memperlakukan boneka itu seperti puterinya yang hilang. Ia melakukan hal sama dengan jari kembarannya yang masih hidup, menjalin kedua tulang itu dengan seutas benang wol merah dengan harapan akan dapat memanggil kembali jiwanya.”

        Caleb tak dapat mengenyahkan bayang-bayang Pupa dari benaknya. Skylar bahkan tak perlu menambahkan efek dramatis dalam ceritanya. Ia dapat mendengar suara-suara itu lagi, datang silih berganti bersamaan dengan ribut angin yang mencoba menghancurkan jendela kamarnya.

       “Kau dengar itu?” tanya Caleb pada Skylar yang tidak tampak terganggu.

        “Tentu saja, bagaimana pun aku pernah memiliki Gemino. Sampai sekarang aku masih dapat mendengar suara jeritan dan tawa lirih itu,” jawab Skylar sambil berdiri menggenggam kalung tersebut, “Kita harus melakukan sesuatu.”

       “Mungkin akan terjadi badai.”

       “Berhentilah membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau bertemu dengannya dan melihat banyak hal aneh sejak menyimpan benda itu bersamamu.”

      "Baiklah, anggap saja jika benar,” Caleb menelan ludah bersama rasa gengsi yang mengalahkan keinginan untuk melenyapkan teror itu dari dirinya, “Apa yang harus kita lakukan?”

      “Menemui Madame Peregrine. Ia tahu bagaimana cara melenyapkan kutukan.”

        Caleb tak memiliki pilihan selain menyetujui usul Skylar.

         Rumah Madame Peregrine menyerupai mansion tak terawat di mana Caleb dapat membaui aroma tengik begitu pintu ruangannya terbuka. Mereka digiring masuk oleh seorang wanita berwajah pucat yang tak berbicara sepatah kata pun. Semakin dalam mereka melangkah, Caleb semakin merasa tak asing dengan tempat ini. Benarkah aku pernah melihat atau bahkan berada di tempat ini sebelumnya? Ia mengenyahkan dugaan itu. Tidak mungkin! Ia belum pernah bertemu Madame Peregrine, bahkan baru mengetahui nama itu dari Skylar.

        Gambaran mengenai Madame Peregrine dalam benak Caleb ternyata berbanding terbalik dengan apa yang tampak di hadapan mereka. Ia menaksir usia wanita itu tidak lebih tua dari empat puluh tahun. Cukup elegan dengan garis-garis kecantikan Romawi kuno.

       “Ada sebuah mantera, tetapi hanya jika kau tidak memiliki keraguan sedikit pun,” Madame Peregrine berkata pada Caleb. Rupanya ia telah menangkap sikap skeptis yang ditunjukkan anak laki-laki itu sejak pertama memasuki ruangannya.

       Skylar berbisik pada Caleb yang pikirannya seolah mengembara ke suatu tempat yang sangat jauh, “Hei, apakah kau mendengarkan?”

       Caleb menelan ludah dari tenggorokannya yang sakit. Sekarang ia tahu kenapa ruangan ini terlihat tidak asing baginya. Ini adalah ruangan yang sama di mana ia melihat tiga orang anak perempuan duduk di atas sebuah kursi kayu. Di kegelapan, Caleb dapat melihat dari sudut tersembunyi sepasang kaki mungil berwarna pucat. Seperti berhasil menarik sebuah tuas yang mengungkapkan ruang rahasia di mana segala misteri mulai menemukan jawabannya.

       “Tidak ada mantera, bukan?” Caleb berdiri dengan panik. Ia mencoba berlari namun seperti ada kekuatan yang menghentikannya melakukan itu. Wajah Pupa menyembul dari kegelapan, dan Caleb merasa setiap kali berkedip, boneka itu bergerak semakin mendekat ke arahnya.

        Madame Peregrine menyeringai dan menjawab dingin, “Tidak ada tempat untuk lari.”

       “Kita harus segera pergi dari tempat ini!” Caleb menoleh pada Skylar. Namun ternyata gadis kecil itu telah berpindah tepat di sisi kiri Madame Peregrine.

       Ia menatap tak percaya saat Skylar mengangkat tangan kecilnya dan menyerahkan sejumput rambut pada Madame Peregrine. Caleb tercekat. Bagaimana mungkin Skylar berhasil mengambil rambut itu darinya?

       “Skylar… mengapa kau…?”

       Caleb tak dapat melanjutkan. Bukan karena rasa takut yang telah melampaui batasnya, melainkan karena sensasi aneh dari sekelompok lebah yang menyengat bibirnya dengan gerakan horizontal. Ia menatap penuh ketakutan pada jemari lincah Madame Peregrine yang bergerak menjahit sebuah worry doll. Bersama sisa kesadaran yang semakin menipis, Caleb dapat melihat worry doll itu dirancang menyerupai dirinya.

       “Mulai sekarang kau tidak bisa berbohong lagi, Cal,” Skylar berkata sambil mengangkat tubuh lunak dan ringan Caleb, membawanya menuju rak di mana ada banyak boneka serupa dengannya diletakkan secara berjejer. Ia menoleh pada Madame Peregrine yang telah selesai menjahit, dan berbicara perlahan, “Hanya tinggal menyempurnakannya, Mom. Aku tahu seorang anak yang suka mencuri. Ia memiliki tangan yang bagus dan cekatan.”

        Ia menanggalkan sarung tangan rajutan miliknya, dan dalam pandangan Caleb yang membeku, di mana kedua matanya akan terbuka selamanya, tampaklah tangan dengan jari tengah yang buntung sedang memeluk Pupa. Poni yang menutupi wajah boneka itu tersingkap dan Caleb dapat melihat sepasang mata yang sangat hidup di sana.

        Dan tentu saja kini Pupa memiliki senyum yang manis.

Komentar