THE SMILEY FACE

See the funny little clown
He's hiding behind a smile
They all think he's laughing
But I know he's really crying all the while
(“See the Funny Little Clown” by Bobby Goldsboro)
Joanne menatap poster yang tertempel pada dinding bata, suatu kebetulan yang aneh saat dalam waktu bersamaan melodi itu terdengar mendekat. Tidak lama lagi caravan yang membawa lima manusia dengan kostum dan riasan yang menyedihkan akan turun seperti bola-bola karet yang dilepaskan dari sebuah jaring besar. Bergegas ia menggerakkan jari-jarinya pada poster, mengoyak kertas itu dan berlari sebelum siapapun memergokinya.
Wajah Lovejoy yang tersenyum lebar di sana kini melayang rendah bergelung dengan debu jalanan. Joanne telah merobek sebagian wajahnya dan kini kertas itu bergerak lebih tinggi, membentur permukaan kaca caravan berwarna cerah pelangi.
Gadis kecil itu merapatkan ranselnya yang kini terasa lebih berat, berlari lebih kencang menuju Hanshville’s Road, menikung di blok pertama dan bertubrukan dengan Scott. Anak laki-laki yang beberapa bulan lalu menjadi penghuni baru kawasan tersebut menyeringai penuh kemenangan. Ya, Joanne tahu persis apa yang tersembunyi di balik behel Scott, terlebih lagi anak berwajah adenoid ini telah memberikan label secara serampangan pada dirinya. Pencuri. Padahal saat itu Joanne hanya mencuri sepotong roti dari kotak makan siang Anne. Itupun hanya sekali dan ia berjanji tak akan pernah mengulangi perbuatan memalukan itu.
“Aku melupakan makan siangku,” dalihnya waktu itu, “Lagipula Anne harus mulai memperhatikan kandungan kalori yang masuk ke tubuhnya.”
Scott tidak peduli apapun alasannya. Anak laki-laki itu menyebarkan rumor tentang kleptomania yang diidap Joanne, walaupun ia sendiri menduga bisa jadi tuduhan itu benar. Ia baru menyadarinya setelah menemukan lebih banyak benda bukan miliknya di dalam laci, sementara ia tak berhasil mengingat bagaimana mereka semua bisa ada bersamanya.
Gotcha! Kali ini apa yang sudah berpindah ke tanganmu?” Scott berputar mengelilingi Joanne, mencoba menemukan apapun yang sedang disembunyikan gadis kecil itu.
“Kenapa kau tidak mulai mengurus masalahmu sendiri?”
“Karena aku tidak bermasalah seperti dirimu,” Scott memutar bola matanya, lalu menjulurkan lidah dengan cara menyebalkan, “Dasar orang aneh.”
Joanne menatap tajam Scott di balik kacamatanya. Jika sedang tak dapat mengendalikan kemarahannya, ia berimajinasi dapat memanggil tornado datang, atau meledakkan sebuah gedung dan membuat siapapun melayang di udara dengan gerakan memutar cepat. Ia pernah berharap terlahir sebagai mutant, atau setidaknya menguasai mantera Wingardium Leviosa. Sayangnya Scott benar tentang banyak hal, dan yang paling menyakitkan dari itu semua adalah fakta bahwa semua memandangnya sebagai orang aneh.
See the funny little clown
He's hiding behind a smile
They all think he's laughing
But I know he's really crying all the while
Melodi itu terdengar lagi dari speaker radio tua yang membuat suaranya seperti keluar dari gelembung-gelembung air. Joanne merasakan gelombang kecemasan merengkuh dirinya. Kenangan mengenai wajah-wajah tersenyum yang mengelilinginya saat pesta ulang tahun Parker dua tahun lalu, Bellize yang berlari mengejar salah seorang dari mereka dan sejak itu tak pernah terlihat lagi. Ia terlalu takut untuk memberitahu orang-orang dewasa yang ada di sana, karena wajah tersenyum itu menempelkan telunjuk pada bibir dengan tatapan mengancam.
“Hei, kau dengar itu?” tanya Scott dengan nada bersemangat. Sebelum Joanne sempat menjawab, ia melanjutkan, “Di Oakley’s itu hanya berarti satu hal. Es krim gratis!
Tapi itu bukan es krim. Sama sekali bukan. Kau salah.
Joanne ingin sekali memberitahu bahwa minibus pelangi itu sama sekali bukan seperti yang Scott pikirkan. Tetapi saat melihat senyum kejam yang terukir di kedua sudut bibir anak laki-laki itu, tiba-tiba ia teringat hari di mana Dad menyeret tubuhnya masuk dan memukulinya habis-habisan setelah mendengar sindiran Scott tentang ibu biologis Joanne. Saat itu ia tak mengerti mengapa Dad begitu marah, bahkan enggan menunjukkan foto wanita yang sangat ia rindukan tersebut. Itu bukanlah kemarahan biasa. Pria itu menyembunyikan rahasia besar yang membuatnya terjaga hampir setiap malam bersama botol-botol minuman dan aroma aneh menyeruak ke sekeliling ruangan.
“Ya, kau benar,” jawab Joanne dingin. Tetapi tampaknya Scott tak mendengarnya. Tentu saja anak itu tak peduli apakah ia mengatakan yang sebenarnya atau sedang berbohong.
Beberapa menit kemudian, ia melihat caravan pelangi bergerak pergi setelah Scott melompat ke dalamnya. Poster Lovejoy yang tersenyum seolah-olah melambaikan salam perpisahan padanya. Melodi itu terdengar semakin menjauh, dan samar-samar ia melihat sepasang kaki menjulur keluar, hanya beberapa detik sebelum kemudian menghilang. Merapatkan ranselnya, Joanne berlari menuju rumah. Tak seorang pun melihat. Sebongkah batu besar telah disingkirkan dan kini ia dapat melangkah jauh lebih ringan.
“Joanne, kemarilah,” Jacob meletakkan Budweiser di tangannya pada meja kayu segiempat yang penuh dengan coretan kekanak-kanakan. Mereka bisa saja mengganti benda itu dengan meja lain yang lebih modern, tetapi sepertinya ada terlalu banyak kenangan yang tersimpan di sana. Lebih dari sebuah kenangan, melainkan rahasia. Mungkin rahasia yang sangat gelap karena setiap kali Dad menatap pada permukaannya, seketika itu juga iblis merasukinya, mengubahnya menjadi monster yang tak dapat mengenali puterinya sendiri.
Bagi Joanne, gambar-gambar yang terukir di sana tidak berarti apapun. Satu-satunya hal menarik adalah sebuah nama dituliskan tepat di atas pahatan kepala berduri. JOEY. Anak laki-laki bernama Joey itu menggandeng tangan seorang anak bertubuh segitiga. Dua gambar serupa yang lebih besar dan tinggi masing-masing berada di sisi kanan dan kiri. Gambaran sederhana sebuah keluarga kecil.
Dengan patuh Joanne mengambil posisi duduk di hadapan Jacob. Kepalanya dipenuhi berbagai argumen seandainya Dad menyinggung perihal Scott, atau mungkin membeberkan kesalahan-kesalahannya lalu seperti biasa memaksa ia memilih sendiri jenis hukuman yang akan diterimanya. Lututnya gemetar oleh rasa takut. Seharusnya ia terbiasa menghadapi kemarahan pria itu. Aroma alkohol menyeruak ke udara dan ia menghitung mundur waktu sampai Dad melemparkan botol minuman itu ke arahnya.
“Ada sesuatu yang ingin kaukatakan?” tanya pria itu. Dingin dan terdengar kejam.
Joanne menggeleng. Tak perlu mengatakan apapun, karena terakhir kali ia melakukannya, Dad mengancam akan menjahit mulutnya karena pria itu tak suka mendengar terlalu banyak suara keluar dari sana. Jacob melemparkan botol minuman yang telah kosong. Saat Joanne pikir benda itu akan mendarat tepat di kepalanya, ternyata hanya berakhir di dalam keranjang sampah. Ia memberanikan diri menatap langsung ke dalam kedua mata memerah Dad.
“Kau benar-benar mirip dengannya,” Jacob berdiri sempoyongan untuk mengambil kotak rokok dan pemantik, lalu melanjutkan sambil duduk dengan susah payah karena memiliki masalah dengan berat badannya, “Jangan pernah berpikir kalau aku tak tahu apa yang sudah kaulakukan. Bagaimana bisa kotak makanan itu ada padamu?”
Menggerakkan telunjuknya tepat di depan wajah Joanne, ia menjawab sendiri pertanyaannya sambil memicingkan mata, “Kudengar kau melukai gadis kecil itu. Ya, kau menusuk tangannya dengan garpu. Beruntung ia tidak harus kehilangan tangannya.”
Joanne tercekat. Bagaimana mungkin Dad mengetahui perbuatannya? Pria itu bahkan sama sekali tak pernah terlihat di sekolah. Lagipula tidak seorang pun menyaksikan dan Anne sudah bersumpah tidak akan pernah mengadukannya. Dari bawah meja, tangan mungil itu mengepal penuh kemarahan.
“Kau marah,” suara Dad terdengar janggal di telinga Joanne. Menyalakan rokok dan menyesap sensasi nikotin yang memenuhi kerongkongannya, pria itu berkata lagi, “Kau selalu marah. Itulah yang membuatmu terlihat semakin mirip dengannya.”
“Aku sangat ingin mengenalnya, Dad.” Joanne menginterupsi. Penantian yang terlalu panjang untuk sebuah jawaban. Sudah sepuluh tahun dan ia bahkan tak yakin pria itu masih mengingat hari ulang tahunnya. Jacob menatapnya. Dengan cara tertentu, tiba-tiba Joanne merasa pria itu sedang meruntuhkan tembok besar yang selama ini membatasi mereka.
“Kau akan mengenalnya hari ini. Lebih dari itu, kau juga akan bertemu dengan saudara kembarmu,” Dad menghembuskan asap dari rokoknya, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang menyentuh ujung hidung Joanne.
Saudara kembar? Ia tak pernah diberitahu mengenai hal ini.
Pintu di belakangnya terbuka. Seseorang bergerak masuk. Berjalan perlahan menghampiri Joanne. Gadis itu membisu dengan kedua mata terbelalak, menatap ketakutan pada garis-garis wajah yang kini semakin terlihat jauh lebih hidup. Ia mengerjap, berharap saat kelopak matanya terbuka, wajah itu akan menghilang dari pandangannya. Sayangnya ini bukanlah delusi, melainkan mimpi buruk yang menjadi nyata.
“Jangan mendekat!”
Joanne berdiri dengan panik sambil mencoba berlari, tetapi tatapan Dad memerintahkan hal sebaliknya. Ia merasa mual setiap kali pandangannya beradu dengan kedua mata pipih itu, seolah suara tawa anak-anak membahana bersama dengan melodi dari petikan harpa.
“Joey,” Jacob mengangkat kedua kaki pada meja, bersandar malas pada kursi kayu yang berderit menopang tubuh besarnya, “Selamat datang kembali ke rumah.”
Joanne masih berharap ia hanya sedang bermimpi yang mana tak lama lagi akan terbangun dan menemukan semuanya baik-baik saja.
Kepala dengan rambut keriting berwarna merah itu meneleng ke kiri. Jika anak-anak berpikir ia adalah seorang badut jenaka, sebaliknya Joanne hanya berhasil mengingat jeritan dan kedua kaki yang menjulur untuk terakhir kalinya sebelum caravan pelangi membawa pergi Scott. Bagaimana mungkin saat ia pikir sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di luar sana ternyata ancaman terbesar justeru berada di dalam rumahnya sendiri?
“Tidak mungkin!” Joanne menjauh dari Joey yang mencoba mendekatinya, “Ini tidak masuk akal. Dad, lihatlah dirinya! Ia bahkan tidak terlihat seperti anak-anak!”
“Ia memang sedikit berbeda,” Jacob berkata murung sambil menatap Joanne dan Joey secara bergantian, “Pertumbuhan fisik yang terlampau cepat di usianya. Tetapi itu bukan salahku, terkutuklah wanita jalang yang bersikeras melahirkan kalian!”
Joanne merasa ucapan terakhir Dad lebih menyakitkan daripada pukulan-pukulan yang diterimanya dari pria itu selama ini. Pria itu melanjutkan, “Seandainya Julianne tidak merayuku malam itu, maka kutukan ini tidak akan menimpa keluarga kita.”
Untuk pertama kalinya Joanne mengetahui nama wanita yang telah melahirkannya. Kerinduan itu kembali menyergapnya. Walaupun Dad tidak berhenti mengingatkan dosa-dosa Mom, entah mengapa ia tak pernah bisa membencinya. Ia masih sangat ingin bertemu Julianne, terlepas apakah wanita itu akan bersedia menerima dirinya sebagai puteri yang berhak untuk dicintai. Tetapi anehnya, perasaan itu hanya datang sesekali. Selebihnya Joanne hanya dapat merasakan kemarahan membakar dirinya dari dalam. Ya, barangkali Mom benar tentang kejanggalan yang dilihatnya bahkan sejak ia baru dilahirkan. Ada monster yang sedang tertidur dalam tubuh kecil itu.
Joey membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya. Seperti seekor anjing yang sedang berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Jacob bangkit dengan malas menuju kulkas, mengeluarkan selembar daging mentah lalu melemparkannya ke arah Joey yang dengan tangkas menangkap menggunakan mulutnya.
“Mengapa Dad memperlakukannya seperti itu?”
“Ia berbeda. Mengapa aku tak boleh memperlakukannya dengan cara yang berbeda pula?” Jacob mengisi mangkuk aluminium dengan air lalu meletakkannya tepat di hadapan Joey yang sedang membungkuk menikmati sepotong daging mentah. Gigi-gigi besar dan panjang miliknya nyaris seluruhnya diselimuti oleh warna merah darah.
“Aku ingin mendengar kisah tentang Julianne,” tuntut Joanne. Dad tidak pernah suka jika ia memanggil wanita itu dengan sebutan Mom.
“Yeahh, tentu saja,” Jacob menatap Joey yang tampaknya sedang mencoba memberitahunya sesuatu dengan gerakan tangannya.
Apakah Joey bisu? Joanne tak tertarik menanyakan hal itu. Dad dapat mengatakan apapun, tetapi tidak akan membuatnya menerima monster itu sebagai saudara biologisnya.
“Kau selalu lapar, anak bodoh!” Jacob menganggukkan kepala, dan dalam sekejap Joey menghilang dari pandangan mereka. Hanya dalam hitungan menit setelahnya, terdengar suara sesuatu yang berat sedang diseret masuk. Saat Joanne memutar tubuh untuk melihat, ia merasa seperti baru saja mendapatkan tonjokan keras pada perutnya. Ia mengenali sepatu yang membungkus kedua kaki kurus itu. Sepatu yang sama saat terlihat terakhir kali menyembul dari balik pintu caravan pelangi.
“Scott!” Joanne merasa ia meneriakkan nama itu. Tetapi pada kenyataannya, ia terlalu terguncang untuk bicara. Seketika ia merasa seperti sedang terperangkap di tengah-tengah komidi putar yang bergerak semakin cepat.
“Tapi kau adalah predator yang baik,” Jacob menyeringai, menikmati sensasi dari aroma darah yang menyeruak ke udara saat Joey mulai mengiris satu persatu bagian tubuh Scott. Joanne tak perlu melihat lebih banyak lagi. Ia merasa akan muntah, tetapi anehnya bagian lain dari dirinya seolah-olah sedang mendesak untuk bergabung dalam permainan itu. Ini adalah perasaan yang sama saat melukai tangan Anne, mendorong jatuh Taylor dari tangga dan membuat lubang besar di kedua mata pada foto Aubrey. Monster dari dalam dirinya sedang menggeliat keluar dan ia harus mencegahnya.
Dad memaksanya untuk bergabung dalam pesta makan siang. Joanne mencoba untuk berlari keluar dari pintu rumah itu, tetapi Jacob telah mendorong tubuhnya ke atas permukaan lantai yang dingin dan basah. Ia membaui aroma yang khas saat telapak tangannya menyentuh cairan kental hangat. Suara decak rakus Joey terdengar semakin menjijikkan, begitu dekat dan nyata. Bahkan ujung-ujung jari tangannya yang gemetar tidak sengaja menyentuh sepotong daging lunak bertulang.
“Saudaramu telah melindungimu dari kejahatan anak-anak itu. Tidak perlu menangisi kepergian mereka. Bukankah itu adalah pembalasan yang pantas?” Jacob menyeringai.
Sebagian dari diri Joanne ingin marah, tetapi bagian yang lain ingin menertawakan kemenangan atas musuh-musuhnya. Ya, selama ini mereka tak pernah memperlakukan dirinya dengan baik. Mengapa ia tak boleh membalas perbuatan mereka?
“Sepuluh tahun,” Jacob tersenyum ganjil, “Usia yang sama saat aku bercinta dengan saudariku. Pada malam di mana Julianne merayuku, membuatku menginginkan dirinya lebih hebat dari sebelumnya. Aku bahkan dapat mengingatnya sejelas kemarin.”
Berhenti sejenak untuk menyesap rokoknya dalam-dalam, lalu membuka penutup botol minuman dan mereguknya denngan liar. Setengah membanting botol di tangannya pada permukaan meja, ia melanjutkan, “Tetapi ia melakukan kesalahan. Ya, kesalahan. Ia bersikeras untuk tetap melahirkan kalian. Kau tahu? Jeritan-jeritan di malam hari itu. Makhluk kecil menjijikkan yang menghisap seluruh kehidupanmu. Aku tak tahan dengannya. Julianne semakin kurus, sakit-sakitan. Aku tak tahan melihatnya harus menderita lebih lama lagi. Sehingga kuakhiri saja. Bahkan ia merelakan sisa-sisa daging yang melekat pada tulangnya untuk kunikmati. Ia ingin aku hidup selamanya bersama anak-anak kami.”
Joanne tak tahu apakah ia sedang mendengarkan fantasi mengerikan dari Dad, atau rahasia gelap yang menaungi kehidupan mereka. Apapun itu kini tidak lagi menjadi sepenting sebelumnya. Entah bagaimana sesuatu membawa seluruh perasaannya pergi. Ia merasa tak ubahnya mayat hidup.
Jacob melangkah perlahan menghampiri Joey, mengusap kulit wajah yang dipenuhi carut marut di balik riasan tersebut, berhenti pada warna merah melengkung yang mengukir sekeliling bibir kerucut puteranya lalu berbisik, “Bercintalah dengan saudarimu. Berikan aku seorang putera. Pewaris.”

Komentar