EL PRESIDIARIO

     Jarum-jarum hujan mengantarkan elegi malam, bergelayut di ujung bibir para seniman yang mendendangkan balada kesunyian. Kuhirup napas kehidupan dan merasa terberkati. Setiap molekul udara yang selama ini kuanggap hanya bagian kecil dari sebuah kehidupan, kini jauh lebih berharga dari nyawaku sendiri.

     Hanya saja, penebusan dosa tidak berakhir bersama dengan masa tahananmu. Ada kehidupan lain di luar jeruji besi yang dingin dan lantai beraroma pesing. Kehidupan lain itu memiliki lebih banyak warna, namun cakar dan taringnya akan membunuhmu lebih cepat. Bukankah tak ada yang lebih berbahaya selain dari kebencian kolektif? Saat hampir seluruh warga kota membencimu?

     Namaku Gustavo Chavez, mengawali kesialan di usia yang telah matang secara hukum. Ya, hanya enam jam setelah pesta ulang tahunku yang ke delapan belas. Sebuah ironi yang hingga kini masih membuatku menertawakan diri sendiri.

     Kau tahu? Sepertiga penghuni penjara federal bukanlah penjahat sesungguhnya. Mereka hanyalah para pecundang bodoh, terjebak di tempat dan waktu yang keliru. Atau menjadi tumbal dari konspirasi hukum dan politik. Kami adalah pion-pion tanpa nama. Lalu kau akan mengingat angka sebagai namamu. Sebagaimana kau lupa atas hak-hakmu untuk diperlakukan sebagai 'seseorang'.

     Salah satu temanku dalam pesta terbunuh malam itu. Aku sedang terlalu mabuk untuk menyadari kalau itu bukanlah bagian dari permainan. Hal terakhir yang berhasil kuingat adalah perintah untuk mengangkat tangan. Setengah waras, aku masih menganggapnya sebagai hiburan mengasyikkan. Sebelum kemudian mulai merasakan cairan kental, hangat dan beraroma anyir pada jari-jari tangan.

     Apakah kalian akan menyebutku brengsek jika aku mengutuk ketidakadilan Tuhan? Mengapa mereka tak melanjutkan penyelidikan untuk memastikan aku memang pantas menghuni tempat itu atau tidak?

     Baiklah, mereka mendapatkan nama, seseorang yang menyentuh mayat korban, lalu menutup kasus itu untuk mengendus sampah-sampah kriminal lainnya. Bahkan bisa melakukannya sambil melahap roti lapis dan mereguk minuman soda. Tidak kehilangan kehidupan normal seperti yang kualami.

     Tetapi Tuhan tetap mengirimkan orang baik padaku dalam wujud Nelson Maxwell. Pengacara itu telah melalui banyak hal untuk memperjuangkan kebebasanku saat itu, yang berakhir dengan kemurkaan pada wajah hukum.

     Lima belas tahun seperti telah mengubah wajah dunia selama satu abad. Itulah yang ada dalam pikiranku saat menyusuri jalan beraspal yang mana seolah masih dapat kulihat jejak roda motor balap kami.

     Aku tak memiliki tempat untuk dituju. Tak memiliki martabat untuk bisa menghadapi persidangan keluarga yang jauh lebih mengerikan. Bagi mereka, aku telah lama mati sejak palu keputusan hakim diketuk.

     "Kau bisa tinggal denganku sementara waktu. Setelah itu kita akan pikirkan pekerjaan yang cocok untukmu." Ajakan Nelson yang tak mungkin bisa kutolak.

                                ♣♣♣♣♣

     Ritual makan seperti sedang menghadapi prosesi pemakaman. Kehadiranku di meja bersama mereka semua telah mengubah semua warna menjadi hitam. Entah apa yang ada dalam benak Frank, Lizzie dan Kyle. Tapi mereka masih anak-anak, dan mau tidak mau aku membenci Celine yang sudah menyuntikkan toksin ke pikiran mereka untuk memusuhiku.

     "Jangan menghakimi seseorang dari masa lalunya." Akhirnya aku tak tahan untuk tidak mengeluhkan sikap diskriminatif mereka.

     "Aku tak akan menempatkan keluargaku dalam bahaya." Celine berkata tajam.

     "Tapi aku tak akan lama di sini." Kuharap jawaban itu dapat membuat perasaannya sedikit lebih baik.

     "Bagus." Celine menatapku sinis. "Setidaknya kau cukup tahu diri untuk tidak selamanya menjadi parasit."

     Ia beralih pada Kyle yang sedang mengaduk-aduk mashed potato di piring dengan tangan kecilnya.

     "Cepat selesaikan makananmu, lalu pergi tidur!"

     Lizzie yang telah selesai, membawa piring kotor ke westafel sambil bertanya, "Mom, apa aku boleh keluar menonton bersama Terence?"

     Dengan kasar, Celine membersihkan mulut kecil Kyle yang belepotan, lalu mengangkat piring dengan kentang yang terlihat seperti ledakan gunung vulkanik.

     Ingin sekali rasanya aku memberitahu Celine kalau Kyle tidak sepantasnya diperlakukan seperti permukaan lantai di mana kau dapat menggosoknya dengan keras.

     Nelson masih membelakangi kami, semakin memperpanjang jarak dengan meja makan. Ia terlalu sibuk berbicara dengan koleganya di ponsel sehingga tak menyadari bom waktu sedang berdetak di antara aku dan Celine.

     "Tidak ada menonton. Tidak untuk saat ini dan seterusnya! Kalian harus pergi ke kamar sekarang juga."

     "Astaga, Mom! Ini baru jam delapan!" protes Lizzie.

     Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Selalu sama, seolah hidup mereka diatur oleh skenario kaku yang monoton. Bisa kubayangkan salah satu dari mereka akan mati karena bosan. Celine selalu mengunci pertanyaan anak-anak dengan kebungkamannya setelah menetapkan aturan yang menurutku sudah sangat otoriter dan keterlaluan.

     Lizzie menatapku penuh kebencian.

     "Semua ini gara-gara kau! Sejak kedatanganmu di rumah kami, mendadak kami harus mematuhi terlalu banyak aturan."

     Ia beralih pada Celine yang wajahnya masih sedingin es. "Hanya karena Mom takut kau akan memutilasi kami."

     Jadi seburuk itukah jalang ini menanamkan doktrin itu di kepala mereka semua? Anak-anak tak bersalah ini, yang seharusnya mengadaptasi nilai-nilai positif dari rasa peduli dan memaafkan kesalahan. Yang benar saja!

     Aku tak lagi terganggu dengan label pembunuh yang disematkan kepadaku. Terkadang karena begitu seringnya mereka memanggilku seperti itu, aku jadi merasa benar-benar telah membunuh Ernest.

     "Pergilah ke kamarmu sekarang juga, Liz!"

     "Aku bukan bayi!!!"

     Jeritan Lizzie menarik perhatian Nelson yang segera mengakhiri pembicaraannya. Dari cara pria itu menatapku, aku bisa melihat rasa percayanya padaku mulai terkikis perlahan-lahan. Ini adalah hari ketiga aku berada dalam keluarga mereka, dan seketika rumah berubah menjadi seperti neraka. Bisa kupahami alasan ia melihatku dari kacamata yang berbeda sekarang. Aku membawa kebiasaan buruk membuat onar di penjara ke keluarga ini.

     "Aku hanya ingin kau setidaknya memberikan kesempatan pada dirimu sendiri untuk beradaptasi. Bukan kami yang harus terbiasa denganmu. Tetapi kau yang akan melakukannya, Chavez."

     "Hei, kenapa kalian selalu menyalahkanku? Aku bahkan tak melakukan apapun!" Aku menoleh pada Frank yang sejak tadi membisu  di antara pertengkaran yang terjadi. "Kau tahu itu 'kan, buddy?"

     "Itu bukan cara bicara yang benar pada penyelamatmu." Celine menyela dan melanjutkan dengan nada penuh kemenangan, "Paling tidak, tunjukkan sedikit rasa terima kasih."

     "Yaaa ... tentu saja!" Aku menancapkan pisau makan dan garpu di atas potongan daging yang bahkan belum kusentuh. Wajah mereka berdua mendadak pucat. "Karena seorang pembunuh tidak sepantasnya ada di meja makan yang sama dengan orang-orang terhormat seperti kalian!"

      Aku menyeringai pada Celine sambil memutar pisau makan yang masih menancap di atas daging. "Karena ia akan selalu membunuh, bukan?"

     Celine menarik napas tertahan. Nelson mencoba mengambil alih situasi. Namun sebelum pria itu berhasil dengan isteri keparatnya tersebut, si jalang sudah bergegas   meninggalkan meja makan, setengah berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

     Aku tertawa, menikmati kemenanganku menghancurkan rezim tiraninya. Lihatlah wajah tak berdarah itu! Betapa cepatnya kesombongan itu berubah menjadi ketakutan.

     Nelson menatapku muak. Aku tahu itu dan memilih untuk bersikap tidak peduli. Sekalian saja aku menguasai rumah ini dan mengatur kembali peraturan-peraturan aneh di dalamnya.

     Pengacara itu tampak ingin mengatakan sesuatu. Tetapi memutuskan untuk menunda pembicaraan di antara kami saat matanya menatap Frank.

     Ah ya ... seburuk apapun seorang pria, ia tetap ingin terlihat hebat di mata puteranya.

     Akhirnya ia meninggalkanku bersama Frank. Setelah bayangan ayahnya menghilang, pemuda itu berkata, "Aku tahu kau sebenarnya tidak bersalah. Seminggu yang lalu, mereka juga menangkap orang yang keliru."

     Bagiku pembicaraan seperti itu sia-sia saja. Tidak sepenting sebelumnya saat aku masih menyimpan harapan atas keadilan.

     Aku hanya berkomentar, "Lihatlah, Frankie! Aku baru saja melukai hatinya!"

     Frank mengikuti pandanganku yang sedang tertuju pada sepotong daging di piringku. Kami menertawakan lubang yang kubuat di sana.

                                    ♣♣♣♣♣

     Kau tahu?

     Jika harus memilih sepenggal kenangan untuk menetap dalam pikiranku, maka aku akan memilih percakapan singkat antara aku dan Frank di meja makan saat itu.

     Lima belas tahun di penjara cukup berhasil mengasah intuisiku akan adanya bahaya. Aku mempelajari reaksi setiap orang saat berhadapan dengan rasa bersalah, bagaimana kelenjar keringat mereka bekerja lebih aktif, mendadak bersikap seperti pengidap Asperger, atau pada tingkat yang ekstrim, mencoba mempercepat kematian.

     Satu kesalahan tidak akan mengubahmu menjadi iblis. Namun saat kau telah menjelma menjadi iblis, sepuluh kebaikan tak akan menjadikanmu malaikat.

     Aku hanya tak ingin Frank jatuh ke titik moral terendah yang akan menghancurkan masa depannya. Ia tak boleh menjadi salah satu dari iblis itu. Untuk alasan itulah aku merampas bubuk heroin yang ia selundupkan dengan gugup di balik kaos kaki. Itu adalah tindakan yang sangat bodoh! Idiot! Ini seperti berjalan-jalan di tempat umum dengan memegang detonator tanpa pelindung.

     Mengapa kau melakukannya, Frankie? Kau hanya menghitung mundur masa depanmu di Cambridge University dalam dua jam. Dan kau ingin merusak itu semua?

     Saat tubuhku dibawa menjauh dari Frank, seketika aku merasa telah menyelamatkan masa mudaku. Seolah Tuhan memberi kesempatan untuk memperbaikinya melalui bagian di luar diriku.

     Apakah aku bodoh? Atau hanya seseorang yang lagi-lagi berada di tempat dan waktu yang keliru?

     Untuk pertama kalinya, aku merasa telah melakukan sesuatu yang benar. Dan aku tak menyesal saat vonis hukuman mati dijatuhkan padaku.

     Setidaknya, dari atas langit, bisa kulihat keluarga Maxwell menemukan kebahagiaannya kembali. Frank menepati janji untuk benar-benar menjadi 'seseorang'  dan tidak akan pernah mengecewakan orangtuanya.

     Itu adalah dunia kecil yang indah.

     Sebuah dunia tanpa aku.

Komentar