WAJAH PUCAT MUSIM DINGIN


    Flake mencoba merekatkan diri pada kaca jendela yang menjadi harapan terbaiknya saat itu. Lonceng gereja terdengar di kejauhan, beberapa orang berjalan cepat sambil merapatkan mantel mereka saat melintasinya. Seorang gadis kecil yang mengenakan penutup kepala berwarna biru buram berlari keluar membawa sebuah ember logam di tangan.

     Ia mengenal Eowyne lebih baik dari manusia manapun. Menyaksikan setiap hari yang dilaluinya jauh dari segala kemudahan. Menakjubkan bagaimana gadis kecil itu masih selalu memancarkan semangat dan harapan yang sama. Namun malam ini ada yang tampak berbeda. Kegelapan menghiasi wajah pucatnya. Flake terus mengamati Eowyne yang meletakkan ember kemudian duduk dan memeluk lutut. Tubuhnya bergoyang-goyang dalam ritme teratur.

     “Mama, apakah saat ini kau sedang mengamatiku dari surga?”

     Bisikan yang lebih menyerupai elegi kesedihan. Ingin sekali rasanya Flake mendekap tubuh menggigil di balik mantel lusuh itu. Sayangnya tak ada yang dapat ia lakukan. Ia hanyalah serpihan salju yang menjadi saksi dari munculnya kehidupan-kehidupan baru, sekaligus kehancuran spesies bernama manusia. Saat persahabatan bisu terjalin antara dirinya dengan spesimen unik itu, ia menyelami perasaan tak terucap bersama lebih banyak kristal yang pecah. 

     Percikan cahaya kebiruan seperti sebuah tamparan keras yang menerbangkan tubuh ringan Flake. Meniupnya lebih tinggi sebelum kemudian terhempas ke permukaan datar bersama kawan-kawannya yang berbaring malas. Ia hanya memerlukan sepersekian detik untuk reinkarnasi. Seandainya kehancuran hati manusia secepat salju memulihkan diri, maka air mata akan tetap tersimpan dalam botol. Mengapa Tuhan tidak mengembalikan kebahagiaan mereka setelah tidur panjang? Kekuatan matahari bahkan tak sanggup membawa pergi luka-luka itu. Dan kearifan bulan tak cukup mendamaikan.

     Hal sama terjadi setiap tahun saat Peri Eve menjemput impian anak-anak itu. Mengapa ia tak pernah menjawab doa-doa yang dipanjatkan Eowyne? Saat Flake menanyakan hal tersebut, Peri Eve berkata, “Aku tak dapat mengembalikan kehidupan. Dan gadis kecil itu selalu meniupkan mimpi yang sama setiap tahunnya.”

     “Kau tak ingin menggantinya dengan yang lain?” tanya Flake penuh harap.

     “Aku lebih memahami yang ia butuhkan, Flake. Api kecil harapan itu nyaris padam. Kecuali seseorang menjaganya tetap hangat. Jika ada yang harus kulakukan untuknya, maka itu adalah menyelamatkan sekeping hati.”

     “Sekeping hati?” Flake tak mengerti.

     “Kesepian memanggil ruh bernama kesedihan. Dan kesedihan adalah pelahap kehidupan paling ganas dan tak terkendali. Racun mematikan yang hanya memiliki satu penawar.”

     “Kematian?” Flake menggigil oleh rasa takut. Kata terlarang yang akan selalu menempatkan manusia dalam kemuraman panjang. Mereka selalu mencoba menutup pintu darinya dengan berbagai cara.

     “Kau sangat mudah terbaca,” Peri Eve melayang rendah mengelilingi Flake, “tetapi menentang kehendak alam akan menciderai kemurniannya. Sesuatu yang besar sedang dipertaruhkan. Pikirkan kembali keinginanmu itu.”

     Eve menatap Flake sangat dalam, membuatnya berpikir bahwa keinginan itu mustahil, atau lebih buruk lagi dari itu, terlarang. Ia tak siap jika harus menerima kemarahan Eve. Tetapi setidaknya ia belajar satu hal dari pengamatannya atas kehidupan manusia, yaitu mereka selalu menemukan cara. Ya, cara untuk mempermudah segalanya. Bahkan seteguk minuman dapat mengubah air mata menjadi tawa berderai.

     “Aku sudah memikirkannya selama bertahun-tahun,” Flake bersikeras.

     “Tidak ada jalan kembali, kau harus mengingat hal ini,” Peri Eve memperingatkan.

     Tekad adalah hasrat yang kekerasannya melebihi batu karang sekalipun. Berdiri angkuh tak tergoyahkan. Bahkan saat tekad itu hadir dari serpihan kecil lembut yang terhempas lalu terinjak. Tak masalah bagaimana matahari membunuhnya berkali-kali. Ia akan tetap kembali hingga musimnya berakhir.

      Peri Eve membawa Flake memasuki dunia impiannya. Sebuah dunia nyata yang tak asing baginya, namun terasa memiliki sentuhan yang jauh berbeda. Batang-batang pohon itu tidak lagi terlihat menyeramkan. Bayangan gelapnya sama sekali tak mengganggu. Sepasang mata besar yang mengawasi dari lubang pada pohon tersebut, kini tak lebih kecil dari bola mainan anak-anak yang kerap mereka simpan di dalam kantung celana.


     Flake menghampiri Eowyne dengan ragu-ragu. Ada rasa gembira dan takut yang saling berperang memperebutkan dominasi. Suara ribut apakah ini? Seperti ada yang sedang memukul-mukul dadanya dengan sangat keras namun tanpa rasa sakit. Akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang teman bagi gadis kecil yang murung ini.

     Tiba-tiba ia terjatuh saat membuat langkah pertamanya. Semua ini terasa aneh, karena ia tak memperhitungkan perubahan bobot tubuh yang menjadi jauh lebih berat dari sebelumnya. Suara berisik yang ia timbulkan segera menarik perhatian Eowyne. Flake mencoba bangkit namun kedua tangannya yang menggenggam salju tergelincir sehingga untuk kedua kalinya ia terjatuh, kali ini dengan pantat yang mendarat di permukaan tanah bersalju. Ia mengulanginya dan kembali terjatuh. Tubuhnya pun ternyata telah kehilangan elastisitasnya.

     Ia mendengar sebuah suara, begitu kecil namun terdengar menyenangkan. Ternyata Eowyne yang sedang tertawa sambil menatap dirinya. Gadis kecil itu sedang menikmati sebuah pertunjukan sirkus di mana Flake menjadi badutnya. Eowyne berseru padanya, “Kau seperti bayi yang baru belajar berjalan!”

     Tawanya reda begitu melihat Flake masih mencoba berdiri dengan canggung, lalu bertanya, “Perlu bantuan?”

     “Tidak !!!” Flake menjawab. Ia terkejut dengan suaranya sendiri, demikian pula dengan Eowyne yang seketika wajahnya memerah. Ternyata menjadi seorang manusia tidak semudah apa yang terlihat, pikir Flake, lalu berkata lagi dengan suara yang lebih rendah, “Maaf, aku tidak bermaksud menghardikmu. Ini hanya sebuah reaksi.”

     "Yakin tidak ingin dibantu keluar dari gundukan salju itu? Mungkin lain kali kau harus mengganti sepatumu,” kata Eowyne tak berusaha menyembunyikan senyum geli dari wajahnya.

     Flake mencoba menenangkan diri, lalu dengan perlahan bangkit dan berjalan menghampiri Eowyne yang sedang menatapnya seolah-olah bersiap akan insiden tak terduga lainnya. Setelah mereka berada cukup dekat, Eowyne memperkenalkan dirinya. Saat Flake melakukan hal yang sama, gadis kecil itu tak bisa menahan dirinya untuk tertawa sambil berkata, “Nama yang aneh. Tidak terlalu mengherankan bagaimana kau muncul di antara gundukan salju itu secara tiba-tiba. Tetapi senang berkenalan denganmu.”

     “Senang mengenalmu juga, Eowyne,” jawab Flake, merasakan kehangatan di hatinya. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa ia, pada akhirnya, dapat berdiri di sini bersama gadis kecil itu. Untuk beberapa menit kemudian mereka hanya berdiam diri. Eowyne selalu mencoba membawanya pada beberapa cerita singkat yang menarik, seolah-olah mereka telah saling mengenal. Sayangnya tidak lama kemudian terdengar suara seorang anak laki-laki yang lebih dewasa dari balik pintu memanggil Eowyne dan menyuruhnya masuk.

     “Kau bisa datang kapanpun. Mengapa aku tak pernah melihatmu?” Eowyne bertanya pada Flake sambil berjalan perlahan menuju pintu.

     “Aku datang dari sebuah kota yang sangat jauh,” jawab Flake. Eowyne menatapnya sekilas, tampak memiliki sebuah pertanyaan lagi namun kehabisan waktu untuk mengungkapkannya. 

     Dan demikianlah pertemuan mereka menciptakan jalinan persahabatan yang mengikat semakin kuat. Dalam beberapa kesempatan Flake menemui Eowyne di luar rumahnya karena Emrette, kakak laki-laki Eowyne tampaknya tidak terlalu menyukai dirinya. Eowyne menjelaskan kepadanya bahwa Emrette tidak pernah membenci Flake atau siapapun yang menjalin hubungan cukup dekat dengan dirinya, melainkan hanya memiliki alasan untuk merasa cemas. Flake mengalami kesulitan untuk mencerna gambaran karakter Emrette yang dijabarkan oleh Eowyne, seketika menyadari betapa sedikitnya yang ia ketahui mengenai kompleksitas manusia.

     Pada suatu hari di musim panas, Eowyne tampak mulai menghindari Flake. Sekalipun harus terjebak dalam pertemuan tak terduga, mereka tak lagi membicarakan hal-hal konyol. Ada lebih banyak jeda di antara percakapan mereka. Apapun yang membungkam Eowyne, mengubah garis wajah ataupun intonasi vokalnya, Flake menyadari bahwa gadis kecil ini tidak lagi sama. Namun ia masih tak dapat memahami alasan Eowyne bersikap dingin padanya.

     Kebingungannya itu terjawab beberapa saat kemudian melalui sebuah pertanyaan yang diajukan Eowyne secara mendadak, “Mengapa kau tidak bertambah tua?”

     Pada awalnya Flake tak mengerti, namun Eowyne tidak menyerah mencoba membuatnya memahami beberapa hal yang berlangsung di sekeliling mereka dengan melanjutkan, “Sudah delapan tahun, Flake. Dan tataplah aku sekarang. Apakah aku adalah Eowyne yang sama? Seorang gadis kecil yang duduk sambil menghitung koin-koin yang berhasil dikumpulkannya di malam Natal?”

     “Mengapa kau berbicara seperti itu? Aku tidak mengerti. Bagiku tidak ada yang berubah dari dirimu. Kecuali kenyataan bahwa kau mulai mencoba menghindariku. Kau tidak mau lagi bermain kejar-kejaran denganku. Tidak ada lagi keceriaan yang terbang bebas, rumah pohon dan ... dan .…”

     Eowyne menatap Flake dengan tajam, menemukan kedua mata yang bersinar indah itu mulai kehilangan sinarnya perlahan-lahan. Ia seperti sedang menatap ke dalam sebuah cermin sebelum kemudian sebongkah batu menghantam permukaannya, menciptakan retakan yang semakin membesar, dan akhirnya melontarkan kepingan-kepingan tajam ke arahnya. Flake bangkit dengan cepat, bergerak mundur sambil berkata, “Kau memotong rambutmu. Mengapa kau melakukannya?”

     "Aku bukan lagi seorang anak perempuan dengan kedua rambut panjang dikepang dan poni yang hampir menutupi mata,” jawab Eowyne cepat, “siapa kau sebenarnya?”

     Flake tidak menanggapi pertanyaan itu, bukan karena ia tak ingin, akan tetapi perhatiannya segera teralihkan pada sosok yang berlari menghampiri mereka. Hedwig sedang melambaikan kedua tangannya sambil menyerukan sesuatu pada Eowyne. Rupanya ia berhasil menangkap seekor kupu-kupu dan mempersembahkannya kepada gadis itu. Eowyne terpesona, namun tak memiliki keinginan untuk mengekang kebebasan hewan itu dan memilih melepaskannya.

     “Jadi kau sudah memberitahunya?” Hedwig bertanya pada Eowyne sambil mengecup gadis itu dengan tangan yang dilingkarkan di pinggangnya.

     Untuk pertama kali dalam hidupnya, Flake dapat merasakan sesuatu membakar dadanya. Panasnya tak tertahankan dan ia tak mengerti mengapa satu bagian terasa sakit sementara organ tubuh lainnya tampak baik-baik saja. Selama delapan tahun perjalanan sebagai seorang manusia, mereka selalu memberinya sesuatu untuk mengobati luka ataupun melenyapkan rasa nyeri bagi segala penyakit. Namun kali ini rasa sakit itu datang dari dalam dan tak terlihat. Sebuah perasaan baru yang asing. Jika ini adalah reaksi dari kontaminasi silang makanan yang masuk ke perut, maka seharusnya yang terasa sakit adalah bagian lambung. Nyeri ini seperti berada di antara lambung dan dadanya.

     Barangkali rasa sakit tak tertahankan itu adalah akar dari sebuah kegilaan dan tindakan irasional yang mendorong Flake untuk menyerang Hedwig secara membabi buta. Seperti ada perintah dari alam bawah sadar bahwa hal itu yang harus ia lakukan untuk mengurangi rasa sakitnya. Amarah memprovokasi diri untuk memukul wajah itu dan mencekik lehernya. Saat ia pikir telah melakukannya dengan cara yang benar, ternyata tubuh kecilnya terpental cukup jauh ke belakang. Bukan kekuatan serangan itu yang mengganggu Hedwig maupun Eowyne, melainkan saat mereka melihat ke dalam kedua mata anak laki-laki yang memancarkan kobaran api.

     “Apa yang kaulakukan ? Kau orang aneh!” Eowyne meneriaki Flake dengan murka, lalu mengalihkan perhatiannya pada Hedwig yang sedang mengusap wajahnya.

     “Hanya sedikit tergores. Setidaknya tak akan merusak penampilanku saat pernikahan,” Hedwig berjalan menghampiri Flake yang tersungkur lalu menyodorkan tangannya untuk disambut, “aku akan berpura-pura ini tak terjadi. Bangunlah, kau harus membersihkan dirimu.”

     Flake dapat mendengar langkah-langkah kaki cepat milik Eowyne yang berjalan menghampirinya sambil berkata tajam, “Sudah kuduga ada yang aneh dengan dirimu. Kupikir sebelumnya aku bisa mempercayaimu, tetapi ternyata kau tidak berbeda dengan seekor hewan buas!”

     “Eowyne ...” Hedwig mengingatkan dengan perasaan tak nyaman, “ia hanya seorang anak laki-laki yang mungkin belum siap melepaskan kakak perempuannya untuk dimiliki pria lain. Ini adalah reaksi yang wajar dan kau harus bisa memaafkannya.”

     Flake merasakan rasa sakit itu lagi, kali ini semakin hebat dan seolah-olah ia akan mati karenanya. Dimiliki pria lain? Bukankah ia adalah satu-satunya kawan yang selalu ada untuk Eowyne? Ia selalu melakukan sesuatu yang akan menyenangkan hati Eowyne sehingga tak pernah sekalipun air mata kesedihan menetes dari mata indahnya. Kali ini Flake dapat melihat bongkahan es pada kedua mata gadis itu retak sebelum kemudian pecah sehingga menumpahkan cairan bening yang mengurai.

     “Kau menangis, Eowyne. Astaga, aku sudah membuatmu menangis!” ratap Flake pilu. Setiap kali butiran bening itu jatuh, dapat dirasakannya satu hujaman pada jantung.

     Eowyne bergerak mundur saat Flake mendekat, lalu tanpa melihat pada wajah kawan masa kecilnya itu, bertanya, “Siapa kau sebenarnya? Aku tak pernah benar-benar mengenalmu.”

     “Kau tak akan percaya jika aku mengatakannya.”

     “Coba saja,” potong Eowyne cepat.

     Flake memejamkan mata, mencoba merekam kembali kenangan-kenangan masa kecil yang mereka lalui bersama, berharap dapat menyimpannya hingga akhir hayat, lalu memulai, “Dulu aku adalah serpihan salju, yang dengan setia menghampiri kaca jendela rumahmu setiap tahun. Saat pertama kali kudengar tangisan di malam kelahiranmu, kurasakan keajaiban yang memenuhi semesta. Aku mendengar begitu banyak tangisan, namun tidak ada yang seperti milikmu. Saat melihatmu sedih pada malam Natal di mana ember koinmu belum terisi sepeser pun, aku meminta Peri Eve mengubahku menjadi seorang anak laki-laki agar dapat menghiburmu. Dan di sinilah aku sekarang, Eowyne, dikutuk selamanya terperangkap dalam tubuh kecil ini.”

     “Peri hanyalah khayalan anak-anak sebelum tidur,” tukas Hedwig sambil tertawa, “kita tidak harus mendengarkan omong kosong ini, Sayang. Lagipula kita harus menemui Paman Hutchinson sekarang.”

     Eowyne menatap Flake dengan pandangan terluka, lalu berkata dingin, “Kau pikir aku bodoh? Aku bahkan tak percaya Santa. Berhentilah berbohong untuk sebuah pembenaran, Flake.”

     Dan di sanalah punggung itu bergerak menjauh, semakin menjauh hingga hanya meninggalkan titik hitam yang akhirnya lenyap dalam pandangan berkabut Flake. Baik Eowyne maupun Hedwig tak pernah terlihat lagi olehnya. Dalam penantian sepuluh, dua puluh, tiga puluh hingga lima puluh tahun.

     Tetapi pada setiap tiga dekade, pertemuan Flake dengan Eowyne akan diperbarui. Wujud gadis kecil lainnya, memiliki wajah dan kedua mata indah Eowyne. Dan seperti benang merah yang tidak pernah benar-benar terputus, gadis-gadis kecil itu akan berdiri menatapnya dengan pandangan tertarik. Lalu persahabatan dimulai bersama luka dan akhir yang sama. Seperti lingkaran setan tiada akhir di mana Flake harus terperangkap di dalamnya. Selamanya.

Komentar