GANENDRA


        Cakrawala gelap menjerit murka, mengibaskan cambuk berkilat yang mencederai hujan dan mengusik ketenangan sang bayu. Alam seolah bersepakat menciptakan benang-benang rumit bagi perjalanan keturunan Adam yang berpijak tanpa ragu di atas kedermawanan tangan bumi. Terengkuh dalam gigil ketakutan, Ganendra menepis hembus ancaman alam dengan berlari. Seorang hamba Tuhan lain baru saja membunuh nuraninya demi membelokkan garis takdir, bergelung dalam keangkuhan memburu pengakuan atas peran sebagai algojo Tuhan. Manusia hampa iman bermonolog dengan makhluk-makhluk tanpa wajah, mendesak pikiran untuk menggempur kemanusiaan dan menghisap habis kebajikan dari sepotong kecil hati nan membeku.

          Tiada habis pikir betapa lebih mudah untuk tidak menginginkan sesuatu, bahkan atas jiwa paling murni sekalipun. Sepuluh tahun yang lalu, hatinya tak terjamah prasangka buruk tatkala wanita itu enggan merelakan bulir-bulir putih terkecap oleh lidahnya. Namun setiap kali mentari menebarkan keramahan lewat sentuhan hangat di kulit Ganendra sebagai pengingat potongan waktu telah diletakkan tepat di belakang dan tak mungkin terpanggil kembali, ia selalu menerbitkan asa yang terus diperbarui. Berselimutkan rasa percaya bahwa ibunda mencintai dengan caranya yang unik.

         Kemudian asa itu dengan cepat menguap bersama kobaran kemarahan dan serapah yang keluar dari mulut wanita itu padanya, “Anak haram jadah! Kau membawa banyak kesialan dalam hidupku!”

        Sejak itu, Ganendra selalu dipaksa untuk melihat dirinya selaiknya wabah terkutuk.

         Beberapa jam lalu, Bhanumati ingin memusnahkan wabah itu, menggila oleh suara-suara gaib menitahkan pesan Tuhan padanya untuk menebus kematian Syandana sebagai percikan kutukan kelahiran Ganendra. Di malam kelam jeritan pilu kehidupan baru yang dijanjikan oleh-Nya, jiwa ayahnya terpanggil entah menuju nirvana ataukah naraka.

         Tuhan membuka pintu yang memerangkap cahaya kebajikan Jennitra untuk dapat disesap sebagai penawar kemalangan Ganendra. Melalui kelembutan tangan surgawi membersihkan luka sayatnya, di mana jejak kebencian Bhanumati tertinggal pada carut kemerahan. Jejak abadi terpatri dalam relung yang tersembunyi, digoreskan oleh kemarahan berbalas pada lelap kekejaman Ganendra. Menanti dengan sabar waktu untuk memburu pembunuh kebahagiaan masa kecilnya.

         “Tiada faedah berkelana hidup sebagai pembenci,” Jennitra berucap bijak. Dua puluh empat purnama telah beranjak, dan wanita itu merasa suka cita telah terpenuhi oleh kehadiran malaikat kecil bersamanya. Tetapi bola api dalam netra itu masih memancarkan kekuatan nan teguh, memanggil keresahan Jennitra akan semburat racunnya. Ia melanjutkan, “Berjanjilah untuk senantiasa menjaga hati dari kenistaan.”

        Ganendra dapat mengikat sumpah untuk Jennitra, tetapi sangsi pada keteguhan hatinya sendiri. Malam itu mereka terperangkap dalam kebisuan panjang.

         Suatu hari Ganendra merasakan panggilan jiwa yang tak lazim melalui suara-suara membujuk dari dalam dirinya. Tiada sanggup menafsir mimpi yang telah mendewasa, bergejolak dalam hasrat ganjil untuk lebih dari sekedar mendamba wajah rupawan. Semerbak aroma wangi rambut Jennitra memerangkap Ganendra dalam imaji tiada batas. Melanggar sumpah pertama untuk menjaga hati dari kenistaan. Tetapi pengabaian itu tidak membawa dirinya pada ketenangan jiwa. Semakin kuat ia mencoba melepaskan bayang-bayang Jennitra, semakin kuat pesona itu menghisap dirinya. Dipan itu kini laksana hamparan duri di bawah kulit Ganendra pada setiap malam yang semakin menjauh.

         Setelah melalui perenungan panjang dengan mengorbankan tiga malam miliknya untuk senantiasa terjaga, Ganendra menggali rahasia-rahasia kalbu demi memantaskan diri di hadapan sang pujaan hati. Namun tak dinyana, fantasi keindahan begitu rapuh untuk dihancurkan. Barangkali benar adanya saat Bhanumati menyematkan kutukan atas kelahiran Ganendra, bahkan untuk mencinta sekalipun. Jennitra merasa ketulusannya telah tercederai, memuntahkan lahar panas pada luka tak terperi pemujanya.

         Cinta menetapkan tekad untuk melukis takdirnya sendiri. Ganendra kembal bersama permintaan yang sama. Mengakhiri ambang kesabaran Jennitra dan rasa lelah permusuhan dengan berkata, “Kembalilah tujuh tahun setelah purnama tersapu dari cakrawala untuk memenangkan hati ini.”

         Langit di cakrawala akan selamanya menghadirkan warna serupa, tak masalah sepanjang apa waktu yang telah direntangkan. Asa bertumbuh subur dalam gejolak cinta Ganendra. Anak laki-laki berusia empat belas tahun yang malang itu telah mati. Menanggalkan topeng untuk wajah baru yang akan memikat bunga-bunga untuk membuka kelopak dan menebarkan aroma memabukkan. Tetapi Ganendra tidak akan singgah pada satu pun dari kelopak-kelopak itu, karena ia telah menetapkan tempat terdamai dalam hamparan lembut bidadarinya.

          Tujuh tahun. Dan purnama itu kembali memudar.

          Wajah Jennitra menyambutnya. Tanpa senyum namun kecantikan itu tiada sirna sedikit pun. Ganendra menatap wanitanya yang mengenakan tiara melati menyembunyikan sebagian rambut hitam panjang miliknya, serupa belitan ular berkulit mengkilap. Tuhan telah memelihara bidadari ini untuk dimilikinya di saat yang tepat, menjaga kehalusan kulitnya untuk Ganendra. Imbalan sangat pantas untuk kesediaannya membunuh segala benci yang mendekam pada relung terdalam.

         “Jennitra pengantinku. Aku telah kembali untuk cinta kita,” ia membungkuk untuk mencium pengantinnya. Merasakan gemuruh di dadanya saat dengan perlahan menyandarkan kepalanya di atas tubuh kaku wanita itu. Telaga itu telah mengering dan tak menyisakan apapun selain dari rasa panas menyakitkan pada kedua matanya. Sembilu menyayat hatinya secara kejam, menikmati kesadisan dari warna merah yang menetes tanpa henti dari sepotong kecil miliknya.

          Ganendra menyenandungkan potongan bait tak sempurna lagu yang dilantunkan Jennitra tujuh tahun lalu, “Dan saat kau kembali, jiwaku telah pergi menuju keabadian.”

          Ia berhenti demi menatap wajah pucat Jennitra dan kedua mata yang tak akan pernah terbuka lagi untuknya seraya bergumam, “Akan kupelihara ragamu demi keabadian jiwamu.”

Komentar